Menyikapi dan Meluruskan Perbedaan Mazhab
Oleh : Umar Faruq Al-afifi
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
Assalamualaikum wr.wb
Agama
islam adalah agama yang sempurna yang telah diturunkan oleh Allah kepada Manusia
di Bumi, kesempurnaanya antara lain adalah sifat agama ini yang sangat
universal, dalam hal ini universal dapat diartikan sebagai sesuatu yang dapat
di nikmati oleh beragam manusia dari berbagai latar belakang yang dapat disesuaikan
dengan ajaran ajaran didalam agama ini.
Maka
dalam hal ini islam mengenal istilah Mazhab, secara kontekstual dalam pemberlakuannya
didalam keseharian ummat muslim dikenal dengan mazhab-mazhab fiqh yang dalam Islam
merupakan produk pemikiran yang dipengaruhi oleh ruang dan waktunya
masing-masing. Dalam bahasa populer dipengaruhi oleh konteks sosialnya. Dalam
perkembangannya, istilah mazhab juga digunakan bukan hanya dalam konteks fikih
dan sosial akan tetapi juga tentang akidah dan politik.
Maka
dari itu sesuai dengan artiannya yaitu produk pemikiran yang dipengaruhi oleh
ruang dan waktu atau dalam istilah konsteks dikenal sebagai keseharian sosial
manusia, maka tentu sesuai dengan keberagaman sosial dan latar belakang manusia
yang ada diseluruh penjuru dunia, maka lahirnya 4 butir mazhab yang diharapkan
dapat mempermudah umat muslim yang ada di seluruh dunia ini untuk beribadah dengan
menyesuaikan latar belakangnya.
Syaikhul
Islam Imam Ibnu Taimiyah menuturkan, “… Namun rahmat Allah kepada hamba-Nya
menghendaki, bahwa para imam yang menjadi panutan umat, seperti imam madzhab
empat dan lain-lain, mereka mengingkari para ahli kalam seperti kelompok
Jahmiyah dalam masalah al-Qur’an, dan tentang beriman kepada sifat-sifat Allah.
Mereka sepakat seperti keyakinan para ulama salaf, di mana antara lain, bahwa
Allah itu dapat dilihat di Akhirat, al-Qur’an adalah kalam Allah bukan makhluk,
dan bahwa iman itu memerlukan pembenaran dalam hati dan lisan.
Imam
Ibnu Taimiyah juga menyatakan, para imam yang masyhur itu juga menetapkan
tentang adanya sifat-sifat Allah. Mereka mengatakan bahwa al-Qur’an itu kalam
Allah bukan makhluk. Dan bahwa Allah itu dapat dilihat di Akhirat. Inilah
madzhab para Sahabat dan Tabi’in, baik yang termasuk Ahlul Bait dan yang lain.
Dan ini juga madzhab para imam yang banyak penganutnya, seperti Imam Malik bin
Anas, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, dan Ahmad. Mereka inilah yang dikenal
sebagai 4 imam Mazhab yang mana fiqh, aqidah, politik dapat dinisbatkan kepada
mereka karena Sanad fiqh dan aqidah mereka jelas dan dapat disandarkan kepada
Rasulullah SAW.
Lantas
mari mengenal Imam Empat yang dianut oleh Ummat muslim hingga saat ini beserta
sanadnya.
Mengenal
4 Imam Mazhab
1. Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit rahimahullah, dari
Kufah, Irak (hidup th 80 H - 150 H).
Dari 4 madzhab fiqih, madzhab yang paling tua adalah
madzhab Imam Abu Hanifah. Imam Abu Hanifah sendiri merupakan seorang tabi’in
menurut pendapat rajih. Mengenai bersambungnya ilmu fiqih Imam Abu Hanifah
kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, Imam Al Laknawi, ulama muhaqiq
madzhab Hanafi menyatakan,”Ketahuilah, bahwasanya mayoritas madzhab Abu Hanifah
diambil dari para sahabat yang tinggal di Kufah dan dari para ulama setelah
mereka” (An Nafi’ Al Kabir Syarh Jami’ Ash Shaghir li Muhammad bin Hasan, hal.
13)
Mengenai fiqih yang diambil, Imam Abu Hanifah
menyampaikan,”Suatu saat aku mendatangi Abu Ja’far Amirul Mukminin, lalu ia
bertanya kepadaku,’Wahai Abu Hanifah, dari siapa engkau mengambil ilmu?’ Aku
mengatakan, dari Hammad, ia dari Ibrahim An Nakhai’i, ia dari Umar bin Al
Khaththab, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas’ud dan Ibnu Abbas.”
Abu Ja’far pun berkata takjub,”Wah..wah…engkau telah
mencukupi wahai Abu Hanifah.” (lihat, Husn At Taqadhi, hal. 11).
2.Imam Malik bin Anas rahimahullah, dari Madinah (hidup th 93
H - 179 H)
Sedangkan ilmu Imam Malik, Al Muhaddits As Sayyid Muhammad
bin Alawi Al Maliki menyatakan,”Ketahuilah bahwa bangunan fiqih Imam (yakni
Malik) dalam Muwaththa’-nya dibangun atas hadits-hadits-musnad atau mursal-,
kemudian perkara-perkara yang dihukumi oleh Al Faruq (Umar) Radhiyallahu ‘anhu
karena mayoritas pendapatnya sesuai dengan wahyu, kemudian (berpijak) di atas
amalan Ibnu Umar karena para sahabat senior bersaksi atas konistensi dan
kelebihannya dalam mengikuti atsar”.
3. Imam Syafi’i Muhammad bin Idris rahimahullah, lahir di
Ghazza, ‘Asqalan, kemudian pindah ke Mekkah. Beliau bersafar ke Madinah, Yaman
dan Irak, lalu menetap dan wafat di Mesir (hidup th 150 H - 204 H).
Al Allamah Al Qalyubi menyebutkan sanad fiqih Imam As
Syafi’i dengan rangkaian berikut; As Syafi’i dari Muslim bin Khalid Az Zanji
dari Ibnu Juraij dari Atha’ bin Abi Rabah dari Ibnu Abbas dari Rasulullah
Shalallahu Alaihi Wasallam. (Hasyiyatani Al Qalyubi wa Amirah, 9/1).
Sedangkan Al Allamah Mafudz At Tarmasi menulis sanad fiqih
Imam As Syafi’i melalui jalur lain yakni jalur Imam Malik dari Nafi’ dari Ibnu Umar
dari Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Sedangkan sanad fiqih Syeikh
Mahfudz sendiri bersambung hingga Imam As Syafi’i. Melalui Syeikh Mahfudz ini,
sanad fiqih para ulama Nusantara bersambung hingga Imam As Syafi’i, lantas
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. (lihat Kifayah Al Mustafid li Ma Ala
Min Al Asanid, hal. 23).
As Syafi’i meninggalkan sejumlah pendapat Imam
Malik. (lihat, Anwar Al Masalik, hal. 11).
4. Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah dari Baghdad, ‘Irak
(hidup th 164 H - 241 H).
Imam Ahmad sendiri merupakan murid Imam As Syafi’i dan
mengambil ilmu fiqih dari beliau serta perawi madzhab qadim Imam As Syafi’i
saat di Iraq. Sanad fiqih Imam Ahmad sampai kepada Rasulullah melalui Imam As
Syafi, yang juga melalui Imam Malik
Jika demikian, maka madzhab 4 yang ada saat ini merupakan hasil talaqqi
ilmu para salaf kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Sehingga
kesemuanya merupakan ilmu yang mengandung petunjuk dan lebih terjaga nasab dan penisbatannya.
Maka mengambil dien dari mereka tentu lebih utama daripada mengambilnya dari
orang-orang yang jauh setelah mereka yang tidak mengambilnya dari mereka atau
dari pemahaman yang terbentuk karena kesimpulan sendiri, dan inipun lantas
menjadi salah satu problematika dalam ummat muslim dalam pengaplikasian mazhab
itu sendiri.
Menyikapi
perbedaan mazhab
Demikian
tetap harus dicatat, bahwa sekalipun mazhab Islam tersebut banyak, bukan
berarti umat Islam tidak lagi memiliki kesatuan akidah, sistem dan politik. Sebab,
perbedaan mazhab tersebut tetap tidak mengeluarkan umat Islam dari ranah
akidah, sistem dan politik Islam. Di samping itu, perbedaan tersebut merupakan
keniscayaan faktual dan syar’i.
Intelektual
yang telah diberikan oleh Allah kepada masing-masing orang tentu berbeda maka dengan
adanya perbedaan potensi intelektual tentu menimbulkan perbedaan dari masing
masing sudut pandang dalam menarik kesimpulan. Dengan perbedaan potensi
intelektual tersebut, mustahil semua orang bisa menarik kesimpulan yang sama
ketika berhadapan dengan nas-nas syariah.
Karena
itulah, bisa disimpulkan, bahwa terjadinya perbedaan pendapat, yang melahirkan
ragam mazhab itu, merupakan suatu keniscayaan. Namun tidak berarti, bahwa
keniscayaan tersebut bersifat mutlak dalam segala hal. Jelas tidak. Demikian
halnya, potensi nas-nas syariah untuk bisa dimultitafsirkan juga tidak berarti
bebas dengan bentuk dan metode apapun. Sebab, jika tidak, ini akan membawa
kekacauan. Karenanya, Islam tidak menafikan keniscayaan tersebut, meski Islam
juga tidak menjadikan keniscayaan tersebut sebagai hukum. Keniscayaan faktual
dan syar‘i tersebut lalu diselesaikan oleh Islam dengan sejumlah hukum yang
bisa langsung diimplementasikan serta mampu mewujudkan keharmonisan individual
dan kelompok secara simultan. Maka dalam hal ini para ulama telah menentukan
kaidah dan ketentuan dengan tujuan agar hal ini menjadi patokan umat muslim
dalam mengambil tindakan sekaligus menjadi solusi untuk menyikapi perbedaan mazhab
dikalang ummat muslim.
1.
Dalam konteks nas-nas syariah seperti al-Quran dan Hadis Mutawatir baik dalam
masalah akidah maupun hukum syariah, atau ushûl dan furû‘, tidak boleh ada
perbedaan pendapat. Dengan kata lain, berbeda pendapat dalam konteks ini
hukumnya haram.
2.
Berbeda pendapat dibolehkan oleh Islam dalam konteks nas-nas syariah seperti
al-Quran dan Hadis Mutawatir yang memiliki makna dan arti yang luas sehingga
diperbolehkan menyesuaikan sudut pandang tanpa keluar dari konteks nash nash
syariah tersebut.
3. Menafsirkan
nas-nas syariah dengan banyak versi tafsir tetap dibolehkan, tetapi harus dalam
koridor yang ditunjukkan oleh nas serta sesuai dengan kaidah dan metode
memahami dan istinbâth yang dibenarkan oleh syariah.
4.
Pandangan yang dihasilkan oleh semua mazhab dianggap benar, dengan catatan
tetap mempunyai potensi salah.
5.
Mengikuti pandangan mazhab tersebut tidak dalam rangka untuk memastikan seratus
persen pandangan tersebut benar atau salah, melainkan dalam rangka agar mampu
membedakan mana pendapat yang paling kuat dan lemah(tarjih).
KESALAHAN
YANG WAJIB DILURUSKAN
Ada
beberapa kesalahan yang harus dibenarkan seputar kesatuan aqidah para ulama. Di
antaranya:
1.
Anggapan bahwa beragamnya madzhab (pendapat yang diikuti) dalam masalah fiqih,
berarti beragamnya aqidah para imam.
Anggapan
ini batil, sebagaimana telah kami sampaikan tentang kesatuan aqidah para ulama
Ahlu Sunnah. Nampaknya, anggapan ini sudah ada semenjak lama. Pada zaman
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, beliau menampakkan aqidah Salafiyah
Ahli Sunnah wal Jama’ah, (tetapi) beliau dituduh menyebarkan aqidah Imam Ahmad
bin Hanbal rahimahullah. Kemudian beliau menjawab: “Ini adalah aqidah seluruh
imam-imam dan Salaf (para pendahulu) umat ini, yang mereka mengambilnya dari
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini adalah aqidah Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam“. Lihat Munazharah Aqidah Al Wasithiyah.
2.
Anggapan bahwa perbedaan Ahlu Sunnah dengan firqah Syi’ah dan semacamnya dari
kalangan Ahli Bid’ah, seperti perbedaan di antara madzhab empat.
Bahkan
saat sekarang ini, di negara Mesir muncul lembaga yang disebut Darut Taqrib,
dengan semboyan mendekatkan antara Madzhab Enam. Yaitu madzhab Hanafiyah,
madzhab Malikiyah, madzhab Syafi’iyah, madzhab Hanbaliyah, madzhab (Syi’ah)
Zaidiyah, dan madzhab (Syi’ah) Al Itsna ‘Asyariyah. Lembaga ini menganggap,
bahwa madzhab empat yang beraqidah Ahlu Sunnah, sama seperti Syi’ah yang sesat.
Padahal telah kita ketahui, sebagaimana kami sampaikan di atas, bahwa aqidah
seluruh imam itu satu, yaitu aqidah Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Adapun Syi’ah,
Rafidhah, maka para ulama telah sepakat bahwa mereka adalah ahli bid’ah.
Bolehkah
kita menggabungkan pendapat pendapat mazhab?
Seperti yang kita ketahui
bahwa seseorang diwajibkan untuk berpegang pada satu mazhab dalam menjadikannya
suatu panutan dalam beribadah namun secara faktual beribadah yang utama adalah
bahwa seorang muslim senantiasa diwajibkan untuk mengikuti dalil yang jelas dan
shahih dalam beribadah karena ini adalah hakikat utama dalam beribadah, lantas pemberlakuan
mazhab disini hanyalah sebagai wadah yang mewadahi dalil dalil yang secara
kontekstual diharapkan dapat mempermudah dan dapat menyesuaikan latar belakang
penganutnya. Maka walaupun ia memegang satu mazhab namun ada dalil yang
bertolak belakang dengan mazhab tersebut namun lebih tinggi dan shahih
kedudukannya maka wajib baginya untuk mengikuti dalil yang paling shahih
tersebut, Bukan karena ingin mengikuti hawa nafsunya untuk mengikuti pendapat
yang paling mudah dan sesuai dengan dirinya akan tetapi murni karena mengikuti
pendapat yang paling shahih.
"Umat Muslim diperintahkan untuk mengikuti dalil,
bukan mengikuti mazhab."
Jika hal ini telah jelas
baginya, dia telah termasuk orang-orang yang mencapai derajat ikhtiar (memilih)
dan tarjih (mampu membedakan antara pendapat yang kuat dengan pendapat yang
lemah). (Al-Muntaqa min Fatawa Asy-Syaikh Fauzan Al-Fauzan).
Peta Dominansi Pengikut 4 imam
mazhab di berbagai penjuru dunia
Wallahu a'lam Bishawab.....
Komentar
Posting Komentar