Riba Vs Ummat Islam


Oleh : Umar Faruq Al-afifi


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

Assalamualaikum wr.wb


Ummat islam saat ini di jaman sekarang dalam menghadapi Perkembangan dunia dan Globalisasi dalam versi Liberalnya, tentu Ummat islam pun mau tidak mau harus berkecimpung didalam sistem sistem yang dibangun oleh para liberalis yang sedang memegang kendali dunia saat ini, entah itu sistem ekonomi, sosial dan budaya serta di bidang bidang lainnya.

Didalam aktivitas ekonomi yang dilakukan oleh manusia didunia sekarang ini tentu tidak asing lagi dengan yang namanya bunga,hutang piutang dan lain sebagainya dan mungkin hal hal tersebut sudah sangat melekat dan bahkan tidak dapat dipisahkan dalam aktivitas ekonomi manusia didunia termasuk ummat islam sekalipun.

Namun tahukah anda bahwa  dalam  bingkai  ajaran  Islam,  aktivitas  ekonomi  yang  dilakukan  oleh  manusia  untuk  dikembangkan  memiliki  beberapa  kaidah  dan  etika  atau  moralitas  yang telah diatur didalam syari’at  Islam. Allah  telah  menurunkan  rizki  ke  dunia  ini  untuk  diambil dan dimanfaatkan  oleh  manusia  dengan  cara  cara yang benar dan sesuai dengan apa yang Allah halalkan dan terbebas dari riba.


واحلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
 
Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” [Al-Baqarah: 275]

lantas apa itu Riba? dan kenapa Allah melarang Ummat Islam untuk mendekati riba yaitu dalam surat Al baqarah : 275, mari kita telisik lebih jauh dan kita kupas tuntas mengenai riba.



pengertian dari Riba itu sendiri adalah secara bahasa berasa dari bahasa arab yaitu Ra baa (رَبَا) yang artinya Ziyadah atau bertambah, dan secara istilah berarti riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil. Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, tetapi secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual-beli maupun pinjam-meminjam secara batil atau bertentangan dengan prinsip muamalat dalam Islam (Wikipedia).

Seperti yang telah Allah firmankan bahwa Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba, didalam prinsip muamalat dalam islam telah diatur bahwa transaksi jual beli adalah barang atau jasa sebagai komoditas utama yang nantinya akan dibeli dengan harga jual yang telah ditetapkan sehingga kesimpulannya adalah ada usaha untuk mendapatkan uang sebagai nilai tukar yaitu menjual sesuatu yang berbentuk dan nyata seperti barang ataupun jasa. Lalu bagaimana dengan konsep transaksi riba, konsepnya adalah sesuai dengan pengertiannya yaitu bertambah maka riba  pun hakikatnya adalah menambahkan untung pada modal yang dimiliki tanpa harus menjual barang atau jasa, sehingga kesimpulan pada riba adalah menjadikan uang bukan sebagai alat tukar melainkan menjadi uang sebagai komoditas utama.

Mari kita cari perbedaannya !!!

Dengan menganalogikan ada dua orang yang sama sama memiliki modal sebesar 200 juta rupiah, kemudian orang pertama menggunakan uangnya untuk membeli rumah, dan orang kedua menabungnya di bank. Kemudian orang pertama yang telah membeli rumah seharga 200 juta, kemudian mengontrakan rumahnya kepada orang lain selama satu tahun dengan biaya 12 juta rupiah /tahun. Kemudian orang kedua yang telah menabung di bank, mendapat janji dari bank berupa bunga sebesar 1 juta/bulan dan baru bisa diambil pada bulan terakhir dalam satu tahun. Setelah satu tahun berjalan orang pertama yang mengontrakan rumahnya mendapat bayaran sebesar 12 juta sesuai akad, dan orang kedua mendapat tambahan besaran yang sama yaitu 12 juta juga pada akhir tahun. Nah tentu dari analogi diatas bisa terlihat perbedaan yang cukup jelas, orang pertama menjual rumah dengan akad kontrak selama satu tahun, sehingga dapat terlihat bahwa rumah menjadi komoditas utama dalam transaksinya,sehingga seperti inilah jual beli yang dihalalkan. Lalu pada orang kedua, ia menyimpan uangnya di bank, lalu pada akhir tahun mendapat keuntungan berupa bayaran sebesar 12 juta, tanpa adanya usaha berupa menjual barang atau jasa maka inilah yang disebut transksi riba yang telah Allah haramkan.

Secara harfiah mungkin terlihat biasa namun dalam islam hal itu bukan sesuatu hal yang wajar karena mengandung eksploitasi kepada satu pihak tanpa usaha, berbeda dengan jual beli yang usahanya adalah menjual barang ataupun jasa, eksploitasi ini berbahaya karena tentu hanya menguntungkan satu pihak saja, dan menurut para pakar ekonomi islam tentu hal ini dapat menghambat aktivitas muamalah masyarakat, karena tentu di satu sisi menguntungkan satu pihak dan tentu disisi lain akan merugikan pihak yang lain, sehingga bisa jadi  orang  kaya  akan  semakin  kaya  sedangkan   orang miskin akan semakin miskin dan tertindas.

Untuk mengetahui lebih dalam mengenai riba dalam islam  Riba memiliki bemacam macam jenis, Secara garis besar riba dikelompokkan menjadi dua.Yaitu riba hutang-piutang dan riba jual-beli. Hal ini dikultuskan agar kita semakin tahu dan faham mengenai riba sehingga kita menjauhinya.


Jenis-Jenis Riba


      1. dalam Utang (Hutang-Piutang)
a.    Riba Qardh
Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berhutang (muqtaridh).

b.    Riba Jahiliyyah
Hutang dibayar lebih dari pokoknya, karena si peminjam tidak mampu membayar hutangnya pada waktu yang ditetapkan.
 

ada masa jahiliyah, riba terjadi dalam pinjam meminjam uang. Karena masyarakat Mekah merupakan masyarakat pedangang, yang dalam musim-musim tertentu mereka memerlukan modal untuk dagangan mereka. Para ulama mengatakan, bahwa jarang sekali terjadi pinjam meminjam uang pada masa tersebut yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumtif.

Pinjam meminjam uang terjadi untuk produktifitas perdatangan mereka. Namun uniknya, transaksi pinjam meminjam tersebut baru dikenakan bunga, bila seseorang tidak bisa melunasi hutangnya pada waktu yang telah ditentukan. Sedangkan bila ia dapat melunasinya pada waktu yang telah ditentukan, maka ia sama sekali tidak dikenakan bunga. Dan terhadap transaksi yang seperti ini, Rasulullah SAW menyebutnya dengan riba jahiliyah.

Penjelasan Riba dalam Utang:

Riba akibat hutang-piutang disebut Riba Qard ( ربرر قرقض ), yaitu suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berhutang (muqtarid), dan Riba Jahiliyah ( ربر قرا ليهر ), yaitu hutang yang dibayar dari pokoknya, karena si peminjam tidak mampu membayar hutangnya pada waktu yang ditetapkan. Perbedaan antara utang yang muncul karena qardh  dengan utang karena jual-beli adalah asal akadnya. Utang qardh muncul karena semata-mata akad utang-piutang, yaitu meminjam harta orang lain untuk dihabiskan lalu diganti pada waktu lain. Sedangkan utang dalam jual-beli muncul karena harga yang belum diserahkan pada saat transaksi, baik sebagian atau keseluruhan.

Contoh riba dalam utang-piutang (riba qardh), misalnya, jika si A mengajukan utang sebesar Rp. 20 juta kepada si B dengan tempo satu tahun. Sejak awal keduanya telah menyepakati bahwa si A wajib mengembalikan utang ditambah bunga 15%, maka tambahan 15% tersebut merupakan riba yang diharamkan.

Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya menyatakan, “kaum muslimin telah bersepakat berdasarkan riwayat yang mereka nukil dari Nabi mereka (saw) bahwa disyaratkannya tambahan dalam pinjam meminjam (qardh) adalah riba, meski hanya berupa segenggam makanan ternak”.

Bahkan, mayoritas ulama menyatakan jika ada syarat bahwa orang yang meminjam harus memberi hadiah atau jasa tertentu kepada si pemberi pinjaman, maka hadiah dan jasa tersebut tergolong riba, sesuai kaidah, “setiap qardh yang menarik manfaat maka ia adalah riba”.


      2.  Riba Dalam Jual-Beli
a.    Riba Fadhl
Pertukaran antarbarang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang ribawi.

b.    Riba Nasi’ah
Penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba dalam nasi’ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dengan yang diserahkan kemudian. 

Riba akibat jual-beli disebut Riba Fadl ( رلضرق ربر), yaitu pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda dan barang yang dipertukarkan termasuk dalam jenis barang ribawi. Dalam jual-beli, terdapat dua jenis riba, yakni riba fadhl dan riba nasi’ah. Keduanya akan kita kenal lewat contoh-contoh yang nanti akan kita tampilkan.

Berbeda dengan riba dalam utang yang bisa terjadi dalam segala macam barang, riba dalam jual-beli tidak terjadi kecuali dalam transaksi enam barang tertentu yang disebutkan oleh Rasulullah saw. Rasulullah saw bersabda:

Jika emas ditukar dengan emas, perak ditukar dengan perak, bur (gandum) ditukar dengan bur, sya’ir (jewawut, salah satu jenis gandum) ditukar dengan sya’ir, kurma dutukar dengan kurma, dan garam ditukar dengan garam, maka jumlah (takaran atau timbangan) harus sama dan dibayar kontan (tunai). Barangsiapa menambah atau meminta tambahan, maka ia telah berbuat riba. Orang yang mengambil tambahan tersebut dan orang yang memberinya sama-sama berada dalam dosa.” (HR. Muslim no. 1584)

Ada beberapa poin yang bisa kita ambil dari hadits di atas:

Pertama, Rasulullah saw dalam kedua hadits di atas secara khusus hanya menyebutkan enam komoditi saja, yaitu: emas, perak, gandum, jewawut, kurma dan garam. Maka ketentuan/larangan dalam hadits tersebut hanya berlaku pada keenam komoditi ini saja tanpa bisa diqiyaskan/dianalogkan kepada komoditi yang lain. Selanjutnya, keenam komoditi ini kita sebut sebagai barang-barang ribawi.

Kedua, Setiap pertukaran sejenis dari keenam barang ribawi, seperti emas ditukar dengan emas atau garam ditukar dengan garam, maka terdapat dua ketentuan yang harus dipenuhi, yaitu: pertama takaran atau timbangan keduanya harus sama; dan kedua keduanya harus diserahkan saat transaksi secara tunai/kontan.

Disamping harus sama, pertukaran sejenis dari barang-barang ribawi harus dilaksanakan dengan tunai/kontan. Jika salah satu pihak tidak menyerahkan barang secara tunai, meskipun timbangan dan takarannya sama, maka hukumnya haram, dan praktek ini tergolong riba nasi’ah atau ada sebagian ulama yang secara khusus menamai penundaan penyerahan barang ribawi ini dengan sebutan riba yad.

Ketiga, Pertukaran tak sejenis di antara keenam barang ribawi tersebut hukumnya boleh dilakukan dengan berat atau ukuran yang berbeda, asalkan tunai. Para ulama menggolongkan praktek penundaan penyerahan barang ribawi ini kedalam jenis riba nasi’ah tapi ada pula ulama yang memasukkannya dalam kategori sendiri dengan nama riba yad. baca : Riba dalam Perpektif Islam
 
Problematika Ummat islam seputar riba

pembahasan mengenai  riba  dapat  dikatakan  telah  menjadi problematika yang selalu menjadi perbincangan  baik  dalam  perkembangan  pemikiran  Islam  maupun  dalam  peradaban  Islam  karena  riba  merupakan  permasalahan  yang  pelik  dan  sering  terjadi  serta sulit untuk dilepaskan bahkan oleh Ummat islam itu sendiri,  hal  ini  disebabkan  perbuatan  riba  sangat  erat  kaitannya  dengan  transaksi-transaksi  dibidang  perekonomian dimasa globalisasi atau perkembangan dunia yang mencakup sistem liberal sehingga memaksakan Ummat islam yang sulit untuk lolos dari jeratan riba didalam muamalah yang  sering  dilakukan  oleh  Ummat dalam  aktivitasnya  sehari-hari. Lantas apa saja permasalahan yang selalu menjadi persoalan Ummat islam didalam menghadapi riba dan hal hal yang paling menjadi masalah ummat dalam muamalah karena tentunya untuk memberantas suatu masalah ummat islam harus mengetahui dan menemukan akar masalahnya.


1.    Apakah boleh menyimpan uang di bank?
Pertanyaan ini tentu sering kita dengar karena pada dasarnya sistem perekonomian dunia yang tentu mencakup ummat ini juga sangat erat sekali dengan yang namanya bank, karena hampir disetiap urusan muamalah, entah itu menerima gaji, membayar sesuatu, dan lain lain, bank seperti tidak bisa dipisahkan dengan beragam hal yang berkaitan dengan muamalah. Kemudian seperti yang kita ketahui bahwa bank adalah sumber adanya riba, dan hampir disetiap lini produknya mempergunakan riba, terutama pada bank konvensional. Maka dari itu apakah ummat islam tetap boleh menyimpan uang di bank? Jawabannya adalah menurut Al-Lajnah Ad-Da`imah menjawab (13/345): “Menyimpan uang di bank dan semisalnya dengan permintaan atau tempo tertentu untuk mendapatkan bunga sebagai kompensasi dari uang yang dia tabung adalah haram. (Demikian juga) menyimpan uang tanpa bunga di bank-bank yang bermuamalah dengan riba adalah haram, sebab ada unsur membantu bank tersebut bermuamalah dengan riba dan menguatkan mereka untuk memperluas jaringan riba. Kecuali bila sangat terpaksa karena khawatir hilang atau dicuri, sementara tidak ada cara lain kecuali disimpan di bank riba. Bisa jadi dia mendapatkan rukhshah (keringanan) dalam kondisi seperti ini karena darurat…”, Jawaban senada juga disampaikan secara khusus oleh Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz Lihat Fatawa Ibn Baz (2/194) dan Fatawa Buyu’ (hal. 127). Periksa pula Fatawa Al-Lajnah (13/346-347, dan 13/376-377).
 

2.    Apa hukumnya transfer via bank?
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz t menjawab:
“Bila sangat diperlukan transfer via bank-bank riba, maka tidak mengapa insya Allah, dengan dasar firman Allah:
وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلَّا مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ
“Padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kalian apa yang diharamkan-Nya atas kalian, kecuali apa yang terpaksa kalian memakannya.” (Al-An’am: 119)
Tidak syak lagi bahwa transfer via bank termasuk kebutuhan primer masa kini secara umum….” (Fatawa Ibn Baz, 1/148-150, lihat Fatawa Buyu’ hal. 138-139)

3.    Apakah biaya administrasi bank termasuk riba?
Riba bukanlah sekedar sebuah nama, namun riba adalah sebuah bentuk transaksi. Walau dinamakan apapun, kalau prinsip transaksinya memenuhisyarat riba, maka hukumnya haram.
Walau dinamakan dengan istilah infaq, sedekah, waqaf atau sumbangan, selama terpenuhi kriteria paktek riba, tetap saja hukumnya haram. Bila dilakukan, pelakunya akan mendapat dosa besar di sisi Allah.
Maka apa yang disebut dengan biaya administrasi pada pertanyaan anda di atas, 100% adalah riba. Hukumnya haram dan pelakunya diancam dengan dosa besar. Bahkan bukan hanya yang meminjam dan yang dipinjam, yang kena laknat termasuk yang menulis dan menjadi saksi atas peristiwa itu.
agar biaya administrasi ini tidak masuk dalam kategori “tambahan” yang tidak diperbolehkan, maka ada dua syarat utama yang harus dipenuhi, yaitu :pertama, biaya administrasi ini harus didasarkan pada perhitungan riil biaya yang digunakan untuk melaksanakan sebuah transaksi. Misalnya, biaya materai, biaya pengurusan dokumen, biaya upah untuk survey, biaya komunikasi, dan lain-lain. Sehingga, angka yang keluar memang betul-betul mencerminkan “nilai riil” administrasi yang dilakukan. Kedua, prosentase biaya administrasi ini hendaknya tidak dihubungkan dengan besarnya angka pembiayaan yang diberikan, kecuali jika memang prosentase tersebut mencerminkan biaya riil yang dikeluarkan untuk mengeksekusi pembiayaan tersebut. Kalau kebijakan BMT berprinsip “yang penting biaya administrasinya 1 persen dari pembiayaan”, tanpa terkait dengan nilai riil administrasi yang dilakukan, maka hal tersebut masuk dalam kategori riba an-nasiah yang dilarang dalam ajaran Islam. Baca : Uang Administrasi Halal atau Haram


Solusi Mengindari Riba
 
Allah SWT tidak akan pernah melarang dan menjauhkan hambanya dari sesuatu kecuali didalamnya terdapat banyak sekali mudharat yang ditimbulkan, karena sudah banyak cerita orang orang diluar sana yang sangat di tercekik setelah berkecimpung dari riba, entah ada yang karena tidak bisa membayar angsuran kemudian aset nya habis, ada yang usahanya bankrut karena utang yang berbunga dan masih banyak lagi, dan mungkin sebagian pembaca memiliki ceritanya masing masing bagaimana riba sangatlah memberikan kesulitan yang mendalam bagi para pelakunya. Maka Allah SWT yang maha penyayang sangat ingin menjauhkan kita dari yang namanya riba, sehingga Allah sendiri yang menjadikan Riba adalah sesuatu yang sangat buruk baik itu didalam sistemnya, dampaknya maupun ganjarannya, seperti yang kita tahu ganjaran dari pelaku riba adalah neraka, bukan hanya di akhirat tapi di dunia pun pelakunya akan merasakan berada di neraka, karena kesulitan yang ditimbulkan oleh riba itu sendiri. Sebagai bentuk kasih sayang Allah kepada kita, dan agar Ummat ini bisa tetap menjalankan aktivitas muamalah, maka sesuai dengan firmannya Allah memberikan solusi berupa dihalalkannya jual beli didalam muamalah, yang tentunya jual beli ini, tentu harus memiliki komoditas yang berbentuk barang ataupun jasa yang layak dijual.

Lantas kemudian bagaimana solusi jual beli yang tepat agar tidak tercampur denga bahayanya riba,sebelumnya ekonomi atau muamalah memiliki tiga pilar yang kuat yang saling menguatkan satu sama lain, tiga pilar tersebut adalah pasar, produksi dan modal. Maka dari itu agar ekonomi atau muamalah yang kita lakukan masuk dalam kategori halal maka kita perlu menguasai hakikat pasar, produksi dan modal yang ada didalam muamalah yang kita lakukan, hal ini sepadan dengan apa yang senantiasa dilakukan oleh sayyidina Umar bin Khattab, yang mana hal ini bisa menjadi solusi untuk para pelaku muamalah yang tidak ingin proses muamalahnya terjangkit sesuatu yang syubhat bahkan diharamkan, Umar bin Khattab ketika dahalu belum menjadi khalifah beliau menjabat sebagai Muhtasib, Pengertian dari Muhtasib adalah seorang pengawas pasar, ketika Beliau menjadi Muhtasib di setiap waktu beliau sering berdiri di depan gerbang menuju pasar sambil meneriakan suatu kalimat yaitu “tidak boleh jual beli di pasar, kecuali yang tahu syariat jual beli, karena saya khawatir kalian akan terlibat dalam riba seraya kalian tidak mengetahuinya”, beliau senantiasa mengingatkan hal ini, karena beliau tidak ingin masyarakat mekkah pada waktu itu terjerat dengan yang namanya riba, sehingga beliau mengharamkan sesiapapun yang tidak mengetahui syariat dalam jual beli.

Perkataan beliau sangatlah cemerlang karena itulah solusi untuk menghidari riba, yaitu harus terlebih dahulu tau mana yang dibolehkan dan dilarang dalam islam pada muamalah yang sedang dilakukan. Didalam hal produksi tentu kita harus mengetahui sistematika produksi didalamnya agar kemudian harga jual dan keuntungan yang ditetapkan tidak lagi tercampur dengan riba, kemudian kita harus mengetahui pasar karena dengan mengetahui pasarlah kita dapat mengatur strategi dagang yang telah dihalalkan dalam syariat, kemudian yang terakhir adalah modal, tentu kita harus mengetahui betul modal tersebut, baik sumbernya maupun apapun yang terikat dengan modal tersebut agar apa yang menjadi awalan dalam muamalah tersebut menjadi berkah dengan kita tahu asal muasalnya.



  

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Meluruskan Sejarah Peradaban Islam di Indonesia dan Kalimantan Timur

Catatan Awal Kuliah

Fastabiqul Khairat ditengah Pandemi